KURA-KURA MONCONG BABI ASET BAGI ANAK CUCU MASYARAKAT ADAT MUMUGU

Pada tanggal 7 – 10 April 2022, Tim Yayasan Alfons Suwada Asmat (YASA) bersama WWF Program Papua melakukan kegiatan Peningkatan Pemahaman masyarakatlokal dalam melakukan monitoring Kura-Kura Moncong Babi (KKMB) di Kampung Mumugu, Distrik Sawa Erma, Kabupaten Asmat. Kegiatan bersama masyarakat dilakukan pada tanggal 08 April 2022. Pertemuan di mulai dengan pengantar dan arahan dari direktur YASA Pastor Hendrik kemudian dilanjutkan dengan Ketua LMAA Asmat David Jimanipits yang juga memberikan arahan terkait kearifan budaya Asmat yang perlu dijaga dan perlindungan terhadap pemanfaatan sumber daya alam oleh Masyarakat adat bagi anak cuci yang akan datang.  Selain itu tim monitoring juga melakukan pelatihan penggunaan aplikasi survey arcgis123, kepada perwakilan masyarakat kampung Mumugu, guna pengambilan titik koordinat lokasi peneluran. Dan tanggal 09 April 2022 tim yasa dan wwf bersama masyarakat melakukan survey pengambilan titik peneluran KKMB.

Kura-kura moncong babi (Carretochelys Inculpa) adalah salah satu jenis kura-kura langka yang masih lestari,  yang merupakan anggota keluarga Carretochelidae. Kura-kura merupakan hewan purba yang masih bisa dijumpai sampai sekarang. Hewan bercangkang keras ini banyak dijadikan peliharaan oleh para pecinta reptil. Bentuk tubuhnya yang unik menjadi ciri khas tersendiri bagi kura-kura moncong babi.  Dari bentuk fisik, kura-kura moncong babi mempunyai bentuk moncong yang berbeda dari kebanyakan kura-kura pada umumnya. Kura-kura ini bermoncong lebih panjang dengan hidung yang mirip babi. Kura-kura moncong babi juga mempunyai sirip pada bagian kaki yang berfungsi menyerupai dayung ketika berenang. Ciri fisik dari kura-kura kura-kura moncong babi bisa dikenali dari cangkangnya yang bertekstur kasar dan tidak mempunyai sisik bertulang seperti kebanyakan cangkang kura-kura. Karapas kura-kura kura-kura moncong babi biasanya berwarna coklat hingga abu-abu gelap dan plastron berwarna krem.

Habitat asli kura-kura moncong babi adalah di perairan tawar dan payau. Daerah sebaran satwa aquatik ini berada di kawasan Papua selatan meliputi Asmat, Timika, Mappi, Yahukimo, Boven Digul dan sebagian kecil di wilayah Merauke. Selain itu kura-kura kura-kura moncong babi bisa dijumpai di perairan Papua Nugini dan Australia.

Perlindungan alam dan segala isinya itu perlu. Perlindungan bagi hutan sagu, kali dengan jenis-jenis hewannya. Program WWF yang sekarang ini coba kita dorong untuk di wilayah Mumugu yaitu perlindungan terhadap Kura-Kura Moncong Babi (KKMB). Program ini untuk pemberdayaan masyarakat tetapi juga perlindungan terhadap Kawasan Hutan Lindung, serta tumbuhan dan hewan yang ada di Asmat.

Masyarakat adat perlu diajak untuk melindungi KKMB supaya mereka bisa melestarikan demi anak cucu. Tidak hanya itu, KKMB ini terkandung nilai ekonomisnya untuk kehidupan harian masyarakat adat. Hal ini di tegaskan oleh Bapak David Jimanipits (ketua LMAA), “dulu waktu kita punya tete-nenek moyang hidup itu, mereka sudah memberikan tanah, kali dan hutan itu mereka wariskan untuk anak cucu kampung Mumugu. Di sini kita punya tete-nenek moyang kasih tinggal dusun dan kali serta semua kekayaan alam untuk kita kelola. Maka diharapkan untuk  dijaga. Jangan urus kepentingan diri sendiri lalu seenaknya masukkan operator sengsor masuk hutan. Nanti jika hasil kekayaan alam habis, lalu kamu mau dapat Apa? Kamu hanya dapat beras, gula, kopi dan supermi. Selebihnya nanti dia yang akan kaya. Telur kura-kura yang biasa kamu ambil dan jual itu hanya  harga 10 ribu saja, kalau dia jual lagi ke orang lain nanti dia yang kaya. Jadi sekali lagi jangan suka berikan kepada orang lain kalau itu bukan haknya.”

Di wilayah lain ada seperti di Kaimana izin pemanfataan, tetapi itu juga terbatas. Untuk wilayah Asmat sampai ke Merauke, itu belum ada izin pemanfaatan karena masih dilindungi. Kegiatan monitoring ini merupakan penggalian informasi pengambilan titik petelur. Artinya kalau kura-kura banyak, difoto lalu kita sampaikan ke orang luar bahwa bulan-bulan ini kura-kura bertelur, menetas, dan bulan-bulan ini pelepasan kura-kura. Dengan cara ini bisa menjadi objek yang dijual kepada masyarakat luar berdampak ekonomi. Kalau mereka datang banyak-banyak untuk melepaskan itu sudah ada uang sebenarnya.

Kura-kura moncong babi termasuk ke dalam daftar hewan langka. Jumlahnya di alam liar disinyalir terus mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya adalah adanya perburuan liar. Kajian yang kita lakukan di beberapa sungai memang populasinya agak menurun pada tahun 2015-2018. Dalam upaya itu belum ada izin yang dikeluarkan jadi dari tahun 2020 kami melakukan kajian memang agak menurun sedikit populasinya. Upaya monitoring yang dilakukan itu memang ada masyarakat yang terlibat untuk pengambilan sampel pemanfaatan di lapangan untuk hitung jumlah sarang, jumlah telur dan melihat habitat pasirnya tempat bertelur di data untuk menjadi masukkan. Misalnya kalau dalam satu hari 10  induk yang naik bertelur artinya itu bagus. Karena populasinya masih banyak. Sebaliknya hanya 4 ekor atau 5 ekor itu berarti populasinya semakin sedikit, jadi harus dijaga. Pada moment monitoring dan survey lapangan  masyarakat disadarkan untuk jaga dan merawat kekayaan alam ini khususnya perlindungan terhadap kura-kura moncong babi.

Ada tanggapan positif dari masyarakat setempat. Respon atau tanggapan masyarakat ini disampaikan oleh salah satu warga kampung Mumugu, bapak Karolus, mengatakan, “Dulu kami tidak ambil pakai ember tetapi dibungkus pakai daun. Itu kami ambil bersamaan dengan musim buah rotan. Kami ambil dulu itu untuk makan dalam keluarga jadi tidak untuk dijual. Sekarang baru kami jual itu pun hanya untuk beli kebutuhan sehari-hari saja seperti rokok, gula dan kopi.”  Mereka berharap dengan kegiatan ini, ke depannya masyarakat tidak pergunakan untuk kepentingan pribadi tetapi dijaga dan diarawat demi anak-cucu mereka. (YASA_Upit)