( Sebuah Refleksi untuk Hari Kusta Dunia 2025)
Sejarah Yang Membelenggu
Kusta adalah salah satu jenis penyakit menular yang paling tua dalam sejarah peradaban manusia. Dengan berbagai latar belakang budaya dan keterbatasan sumber daya di masa lalu, penyakit Kusta telah memperoleh sebuah stikma negatip yang membelenggu sebuah paradigma peradaban manusia dari masa ke masa. Manusia sekian jauh terjebak dan terperangkap dalam sebuah prakmatisme berpikir. Dalil-dalil suci diterjemahkan secara harafia sebagai argumen-argumen pembenaran untuk melegitimasi kekuasaan yang otoriterian tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Sejarah juga telah mempolarisasi cara berpikir manusia terhadap penyakit kusta bukan saja sebagai sebuah penyakit menular yang sadis, tetapi sejarah telah mempenjarahkan nalar kritis manusia untuk memecah kebekuan berpikir manusia terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang terpasung dalam kedunguan.
Realitas Saat Ini
Kisah tentang sadisnya Kuman Kusta sungguh menjadi nyata dan berbicara kepada kita saat ini oleh sejumlah putra dan putri di kabupaten Asmat dari belantara rimba Selatan Papua.
Tercatat sejak tahun 2014 Gereja Lokal Keuskupan Agats mulai merintis sebuah karya pelayanan khusus terhadap orang Kusta di kampung-kampung pedalaman kabupaten Asmat. Sampai saat ini Gereja Keuskupan Agats lewat Yayasan Alfonsius Asmat melayani pasien Kusta di 7 kampung yang tersebar di 3 distrik atau kecamatan yakni distrik Sawa Erma, Suator dan Joutu. Menurut catatan medis dan data yang dihimpun bahwa total seluruh pasien yang sudah dilayani selama ini berjumlah 500-an orang pasien. Dari jumlah yang ada, 90% pasien yang menjalankan pengobatan menjadi sembuh dan dapat beraktifitas seperti biasa. Ada beberapa pasien yang sudah mengalami catat permanen karena sudah terlambat dalam penemuan dan penanganan.
Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pada akhir program tahun ini (Desember 2024) yang dilakukan oleh Tim YASA, telah ditemukan lagi pasien baru sejumlah 108 orang dari 400-an warga masyarakat yang diperiksa. Jumlah pasien itu bisa lebih besar lagi karena jumlah warga yang diperiksa ( survey kontak) belum mencapai 75% dari total jumlah penduduk desa yang disurvey. Sementara masih ada kampung-kampung di sekitarnya belum dapat dilakukan survey kontak. Dengan penemuan kasusu baru ini meyumbang data untuk wilayah Papua sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang mempunyai kasus kusta yang cukup tinggi. Dan dengan demikiian memperkuat pernyataan badan kesehatan dunia ( WHO ) pada tahun 2021 bahwa Indonesia menjadi negara dengan jumlah penderita kusta terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Brasil.
Diskresi Pembangunan Yang Tidak Berpihak
Hampir ¼ abad ( 25 tahun ) berlalu, terhitung sejak tahun 2000 sampai awal tahun ini ( 2025), pemerintah Republik Indonesia lewat mentri kesehatan RI telah mengagas sebuah wacana besar dan medeklarasikan Indonesia untuk bebas Kusta pada tahun 2010. Tapi kenyataan sampai saat ini, Indonesia belum bebas dari masalah kusta. Situasi dan kondisi kita saat ini masih berbanding terbalik dengan sebuah wacana untuk pembangunan di bidang kesehatan dalam periode 25 tahun. Maka ada sebuah pertanyaan yang mesti dicari jawabannya adalah: Apakah gagasan itu hanya sekedar sebuah wacana dan retorika politik untuk melegitimasi kekuasaan ketika itu ?
Walapun kini penyakit kusta telah mengalami ‘evolusi’ dalam dunia pengobatan, namun banyak pihak di antara kita belum mengalami ‘evolusi berpikir’ yang signifikan terhadap penyakit kusta dan para penderitanya. Kemandegan berpikir dan bertindak cepat untuk sebuah penanganan kasus menjadi sebuah indikatornya. Fenomena-fenomena ketidaksigapan para pihak dalam menentukan kebijakan untuk penemuan dan penanganan terhadap sebuah kasus, telah melahirkan berbagai kasus baru. Karena banyak diantara penederita ketika ditemukan sudah mengalami kecacatan (kecacatan fisik yang permanen). Tentu situasi dan keadaan seperti ini mencedarai nilai-nilai peri kemanusiaan yang fatal, karena secara tidak langsung telah menghalangi atau membatalkan seseorang untuk mengusahakan, menjaga dan mempertahankan keberlangsungan hidupnya yang layak baik di bidang sosial ekonomi dan secara psikologis.
Berbicara tentang penyakit Kusta dan pelayanan terhadap orang-orang kusta maka kita harus berbicara tentang diskresi pembangunan secara integral dan komprehensif yang menyetuh seluruh aspek kehidupan manusia. Tentu hal itu berat dan sangat sulit. Banyak orang bersaksi bahwa tidak mudah bekerja untuk melayani orang di Papua, apalagi bekerja untuk pelayanan terhadap orang-orang kusta di wilayah-wilayah terpencil di kabupaten Asmat, karena kondisi medan yang dikelilingi oleh sungai-sungai dengan hutan yang penuh dengan rawa-rawa. Sementara kesulitan untuk akses komunikasih (jaringan telepon) dan ketiadaan sarana transportasi umum menjadi sebuah tantangan tersendiri. Di sisi yang lain, standar kelayakan masyarkat untuk mempraktekan pola hidup yang bersih dan sehat masih cukup memprihatinkan. Sebagaimana yang terpantau di kampung-kampung bahwa rasarana-sarana penunjang seperti air bersih, perumahan yang layak huni, penerangan umum (listrik) dan sumber pendapatan ekonomi yang tetap untuk pemenuhan gizi keluarga masih jauh dari harapan. Sementara akses pasar yang sangat minim namun tawaran akan harga kebutuhan hidup sehari-hari yang jauh melampaui standar harga yang normal semakin memperkeruh kondisi kaghiudupan masyarakat dan para penderita khususnya.
Kita harus jujur mengatakan bahwa realitas yang kita hadapi saai ini menjadi sebuah indikator akan gagalnya diskresi pembangunan di bidang kesehatan masyarakat pada umumnya dan penanganan terhadap penyakit kusta khususnya. Bahwa Negara ini belum mampu mengatasi masalah kesehatan masyarakat.
Semoga saja ceritra tentang Kusta yang dialami oleh anak-anak Asmat dengan berbagai kesulitannya, selalu menggugah dan menggugat setiap insan yang tidak pernah lelah untuk berbicara tentang nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan di zaman ini. Dan kiranya diskresi pembangunan oleh para pemangku kepentingan di negeri ini menjadi sebuah tindakan berbelah rasa untuk menciptakan situasi-situasi dimana setiap orang dapat menikamti dan merasakan hidup yang aman dan nyaman di tengah dunia, di kota dan di kampung-kampung sebagai ‘rumah’ kita bersama.*
Asmat- Papua Selatan
04 Januari 2025