CEO WWF Indonesia Kunjungi Asmat Didampingi Direktur WWF Papua dan Ditemani Pimpinan YASA


Power of Voice, demikian nama program konservasi inklusif yang sedang dikembangkan oleh WWF Indonesia. Sasaran dari program ini adalah masyarakat adat/asli yang ada disekitar hutan dan di dalam hutan dengan melibatkan CSO dan CBO lokal sebagai mitra. Salah satu wilayah di Papua yang menjadi area program PoV adalah Asmat. Beberapa tempat yang akan didorong dalam program pemberdayaan di Asmat pun mulai disurvey. Selain itu CSO lokal yang potensial jadi mitra pun sudah diseleksi dan salah satunya adalah Yayasan Alfons Suwada Asmat (YASA).

Memastikan kelayakan wilayan dan komunitas dampingan serta CSO yang akan menjadi mitra maka, CEO WWF Indonesia (Pa Diky Simorangkir) dan Direktur WWF Program Papua (Ibu Wika Rumbiak) bersama team mengunjungi Asmat. Kunjungan dilakukan ke beberapa titik dan bertemu dengan berbagai orang, pihak dan masyarakat. Agar agenda kunjungan dapat berjalan dengan baik sesuai rencana dan target maka sebagai PIC dipercayakan kepada YASA untuk me-lead di lapangan. Kunjungan ini berjalan dari tanggal 23 – 26 April 2021.

Kunjungan hari pertama ketika team tiba terjadi di sekitar Agats, diawali dengan melihat burung migran disepanjang pantai mangrove teluk flaminggo. Dari teluk flaminggo, team mengunjungi Museum Kemajuan dan Perkembangan Asmat pada sore hari. Sebagai agenda utama, team bertemu, berdiskusi sambil makan malam bersama Bpk. Uskup Keuskupan Agats (Mgr. Aloysius Murwito, OFM), hadir juga semua team YASA di aula keuskupan. Suasana diskusi dalam makan malam penuh kesederhanaan, santai tapi berkesan dan bermakna. Uskup memberi gambaran secara menyeluruh tentang Asmat, awal karya keuskupan, perkembangan dan berbagai hal baik yang telah terjadi tetapi juga berbagai tantangan yang masih harus dihadapi dan diperjuangkan lebih lanjut. Harapan Uskup, WWF dengan program yang ada, semakin membantu mewujudkan harapan terwujudnya kebaikan bersama di Asmat. Pa Diky mewakili WWF Indonesia dalam kesempatan yang sama menyatakan : “tidak ada konservasi kalau perut orang masih lapar”. Untuk itu WWF Indonesia dan khususnya Papua, siap membantu dan mendukung dalam kerja sama program yang sudah dimulai dan dikerjakan oleh keuskupan bersama komunitas basis di Asmat ini.

Hari kedua, kunjungan lapangan. Sesuai rencana, team mengunjungi Sekolah Satu Atap dan Gereja Katolik di Sawa Erma. Team WWF bertemu dengan rektor, para kepala sekola dan guru-guru. Setelah dialog dengan rektor dan para guru, team diajak untuk menyaksikan eksebisi mengukir, menganyam dan merajut oleh murid SMP dan hasil karya anak-anak SD. Dari Sekolah Satu Atap, team mengunjungi gereja yang khas dan unik dari sisi tata ruang dan berbagai ukiran penuh simbol dan syarat arti/makna. Gereja inkulturatif, bernuansa kental dengan budaya, bermakna ekologis – teologis.

Sebelum malam menjemput, dengan speed boat team melanjutkan perjalanan ke kampung As Atat. Memasuki kampung, rombongan dijemput oleh masyarakat dengan perahu dayung kayu dan long boat fiber. Sampai di depan gereja, mewakili WWF Indonesia dan WWF Papua, Pa Diky dan Ibu Wika secara adat dikalungi noken dan disematkan facin di kepala oleh tetua adat sebagai tanda penerimaan dan penghargaan. Team lebih lanjut diajak untuk memangkur sagu bersama mama-mama yang sudah sejak pagi menunggu.

Belum sempat istirahat, team WWF dibagi dua. Ditemani apar kampung dan masyarakat, mereka menjelajahi kampung As dan Kampung Atat. Diluar arahan, team pa Diky masuk sampai ke kebun-kebun masyarakat dengan imbalan jatuh ke lumpur karena kayu titian patah. Kembali dari jelajah, malam hari dilanjutkan dengan bincang-bincang santai bersama masyarakat di gereja.

Hari Minggu, hari Tuhan. Setelah Ibadat pagi bersama umat As Atat, sesuai agend hari ke-tiga, team bergerak ke Mumugu dan Batas Batu. Setelah meninggalkan As Atat, menelusuri sungai selama dua jam, team tiba di kampung Mumugu. Bertempat di rumah Jeu, team bertemu dengan masyarakat dan berdiskusi tentang perlindungan kura-kura moncong babi. Bentuk konkrit dari perlindungan, pimpinan YASA (P. Hendrik Hada, Pr) mengajak Pimpinan WWF Indonesia dan team juga masyarakat untuk bersama melepas beberapa anakkan kura-kura moncong babi (tukik) di sungai.

Selesai melepas tukik, team meneruskan perjalanan ke Batas Batu – Mumugu Dua. Team disambut kepala adat Batas Batu bersama masyarakat dengan tifa dan tarian, diantar menuju rumah pelayanan. Di pelayanan terjadi dialog singkat dengan kepala sekolah Rimba dan team guru berserta masyarakat. Team kemudian mengunjungi Sekolah Rimba dan setelah itu kembali ke Agats.

Dalam perjalan menuju Agats, team mampir di pastoran Sawa Erma untuk bertemu dengan Pastor Vince Colle, MM. Dalam diskusi, P. Vince mengharapkan agar WWF membantu proses pemetaan dan pengakuan hak ulayat adat suku Asmat. Harapan itu ditanggapi positif oleh Pa Diky untuk mengusahkannya melalui WWF Papua. Diskusi berakhir, hari mulai malam dan team harus meneruskan perjalan malam ke agats .

Setelah perjalanan dan kunjungan yang melelahkan, team meninggalkan Asmat menuju Timika. Banyak hal telah dilihat, didengar, dijumpai, dialami dan dirasakan. Semua menjelma menjadi bahan yang cukup untuk merencanakan dukungan pada pemberdayaan dan perubahan komunitas yang lebih baik melalui konservasi inklusif – Power of Voice atau lebih lanjut akan dikenal dengan nama Amplifying Justice for Climate Changs. (YASA-Hen).

Bapak Uskup Agats Asmat (masker) Bersama Pa Diky dan Ibu Wika
Penjemputan Di Atas Air Oleh Masyarakat As Atat